2.1
Asal-usul Wangsa Isyana
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana
Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang
(929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa.
Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan
keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah.
Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu
Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri
memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan
bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu
Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat
letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok
kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa
tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu
terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya
memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan
dinasti baru bernama Wangsa Isyana.Kerajaan yang baru tetap bernama Mataram,
sebagai mana ternyata dari prasasti Paradah tahun 865 Saka (943M) dan prasasti
Anjukladang tahun 859 Saka (937M). Kedudukan Mpu Sindok dalam kelurga raja-raja
yang memerintah di Mataram itu memang di permasalahkan. Seperti yang telah
dikemukakan, Mpu sindok pernah memangku jabatan Rakai Halu dan Rakryan
Mahapatih i Hino, yang menunjukkan bahwa ia pewaris takhta kerajaan yang
sah, siapapun ayahnya. Jadi ia tidak perlu kawin dengan putri mahkota untuk
dapat menjadi raja.
Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan
948 M. Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian
besar ditulis di atas batu. Sebagian prasasti Pu Sindok berkenaan dengan
penetapan sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas
permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang ditetapkan menjadi sima atas
perintah raja sendiri hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan di
Anjukladang. Dapat dilihat bahwa memang
Tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat
dalam prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat
dalam prasasti tembaga yang tinulad. Rupa-rupanya perpindahan
pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu desertai dengan penaklukan-penaklukan.
Hal ini dapat dipahami karena sejak Rakai Watukara dyah Balitung kekuasaan
kerajaan Mataram telah meluas sampai ke Jawa Timur. Bahwa mungkin ada juga
sana-sini raja bawahan atau penguasa setempat yang tidak mau tunduk, dan perlu
dikuasai dengan kekutan senjata, bukanlah hal yang mustahil. Adanya prasasti
Waharu dan prasasti Sumbat memang membayangkan adanya kemungkinan tersebut.
Bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan mungkin juga
berhubungan dengan adanya serangan musuh. Seperti telah disebutkan, ibu kota
kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang. Akan tetapi, di dalam prasasti
Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh.
Dari sekian banyak bangunan suci yang disebutkan
di dalam prasasti-prasasti Pu Sindok, belum ada satu pun yang dapat
dilokalisasikan dengan tepat. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor
dan sekarang didekat Berbek, Kabupaten nganjuk ada reruntuhan candi. Sebenarnya
diharapkan adanya suatu peninggalan arkeologi yang dapan diidentifikasikan
dengan candi kerajaan, sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai
lambang Mahameru untuk pusatkerajaan yang baru di Jawa Timur. Akan tetapi
hingga kini belum ada peninggalan candi di Jawa Timur yang dapat dianggap
sebagai candi peninggalan kerajaan.
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti
Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang
mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat
tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa
Sanjaya.Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias
Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri
Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri
Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian
memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.Ayah dari
Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa
prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum
suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi
daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa.
Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah
Balitung(sekitar tahun 890-900-an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja
bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para
sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra
Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut
Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.Dengan demikian,
Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti
Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
Dari sumber kitab Warata Pura, kitab ini merupakan salinan
kedalam bahasa jawa kuno dari kitab senama dalam bahasa sansekerta. Angka tahun
dituliskannya tahun kitab itu yaitu 918 saka ( 916 M ) dan di
kitab juga disebutkan nama raja yang memerintah saat itu yakni Sri
Darmawangsa Teguh Anantawikrama. Selain ditemukannya kitab juga
ditemukan sebuah prasasti, yakni adalah prasasti Jayawarsa Dikwijaya Sastra
Prabudalam kitab itu disebutkan bahwa raja Sri
Jayawarsa Digwijaya Sastra Prabu menyebutkan bahwa dirinya anak cucu sang
Apanji Wijayamertawerdana, yang kemudian bergelar Abiseka sebagai Raja Sri
Istana Darmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa.Dan yang terakhir sebuah candi
Dharma Parhyangan di Wetan, candi ini merupakan candi untuk mengenang kematian
Darmawangsa Teguh.
Setelah pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai
masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat
hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentukan, yaitu prasasti
Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992
M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). prasasti hara-hara berisi
keterangan tentang pemberian tanah sima oleh Pu Mano, yang
telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yang terletak di Desa Hara-hara, di
sebelah selatan perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku sebagai
tempat menirikan bangunan suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan
dan biaya upacara di dalam bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang
terletak di sebelah selatan seluas 3tampah yang telah digadai oleh
pungku Susuk Pager dan Mpungku di Nairanja.
Prasasti Kawambang Kulwan boleh dikatan belum
diterbitkan sebagaimana mestinya.Apa yang terdapat dalam transkipi Brandes
sebagian kecil permulaannya saja, itu pun hanya dibaca satu sisi, sedang
prasasti ini ditulis melingkar. Yang dapat ditangkap ialah bahwa prasasti ini
memuat anugerah raja kepada Samgat Kanuruhan pu Burung bahwwa prasasti sima di
Desa Kawambang Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan
suci pemujaan dewa (an padamla parhyangan). Melihat angka tahunnya, prsasti ini
berasa dari masa pemerintahan Dharmangsa Teguh. Sayang nama rajanya belum
terbaca; yang ada ialah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah, yaitu Pu
Dharmmangsanggaramawikranta.
Suatu peristiwa unik yang diperingati dengan prasasti
yang dipahat pada batu alam yang besar ialah perbaikan jalan oleh Samgat Lucem
pu Ghek (atau Lok), dan penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet.
Rupa-rupanya pohon itu ditanam di tempat permulaan atau akhir jalan yang
diperbaiki itu.Peristiwa ini diperingati dengan prasasti ucem yang ditulis
dengan huruf kuadrat yang besar-besar.Raja Sri Isana Dharmawangsa Teguh
Anantawikramottunggadewa, yang berdasarkan kitab Wirataparwa, memerintah dalam
dasawarsa terakhir abad X M, dan mungkin sampai tahun 1017 M. Melihat gelarnya
yang mengandung unsur Isana ia jelas keturunan Pu Sindok secara langsung.
Kemungkinan besar ia anak Makutawangsa-warddhana, jadi saudara Mahendradatta
Gunapriya-dharmmapatni. Ia menggantikan ayahnya duduk diatas takhta kerjaan
Mataram, sedang Mahendradatta kawin dengan Udayana, yang ternyata seorang raja
dari Wangsa Warmmadewa di Bali. Dapat dipahami sepenuhnya mengapa Airlangga
menyebut dirinya masih anggota keluarga dari raja Dharmmawangsa Teguh
Dharmawangsa Teguh memerintah dalam dasawarsa terakhir
abad 10 M dan mungkin sampai 1017 M. Dharmawangsa Teguh memiliki gelar Sri
Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (menurut prasati
raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabu dan kitab Wirataparwa). Melihat gelar yang
disandang mengandung unsur Isana, jelas bahwa Dharmawangsa Teguh keturunan dari
Empu Sendok secara langsung (Prasati Pacangan). Kemungkinan besar Dharmawangsa
Teguh anak dari Makutawangsawardana, dia juga merupakan saudara dari
Mahendradatta Gunapriya Darmapatni. Dharmawangsa Teguh menggantikan ayahnya
dengan duduk di atas tahta Kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawin
dengan Udayana yang ternyata seorang putri raja dari wangsa Warmmadewa di Bali.
Jadi pada waktu itu Bali sudah ada di bawah pengaruh jawa, itu terbukti dengan
ditemukannya prasasti-prasasti di Bali yang menggunakan bahasa Jawa kuno.
Hubungan Jawa dan Sriwijaya (Sumatra) pada saat itu
kurang baik. Menurut LC Damais pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Jawa
pernah menyerbu Sriwijaya untuk menghancurkan hubungan Sriwijaya dan Cina,
tetapi serangan dari Dharmawangsa Teguh tidak berpengaruh pada kedaulatan
Sriwijaya, karena sejak tahun 1003 M datang lagi utusan Sriwijaya ke Cina dan
sebaliknya untuk saling memberikan upeti. Hubungan itu berlanjut sampai 1178 M.
Pemerintahan Dharmawangsa Teguh juga melakukan ekspedisi ke Sumatra. Ini
terbukti adanya prasasti batu yaitu bernama Prasasti Hujung Langit ( Bawang )
di daerah Sumatra Selatan tahun 919 Saka ( 997 M ) yang berbahasa Jawa kuno.
Dharmawangsa Teguh meletakkan pusat kerajaannya untuk
yang pertama kali adalah di Madiun, kemudian Dharmawangsa Teguh memindahkan
pusat kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah
Maospati. Perpindahan pusat kerajaan pada masa Dharmawangsa Teguh tidak jelas sumber
dan penjelasannya.Dharmawangsa Teguh yang begitu berambisi untuk meluaskan
kekuasaanya sampai keluar pulau Jawa ternyata mengalami keruntuhan ditangan
raja bawahannya yaitu raja Wurawari (daerah Banjumas). Raja Wurawari sangat
dendam dengan Dharmawangsa Teguh karena ambisinya untuk mendampingi putri
Dharmawangsa Teguh tidak tercapai, karena Dharmawangsa Teguh menikahkan
putrinya dengan Airlangga. Akhirnya kerajaan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh
hancur menjadi abu karena mendapat serangan yang tidak terduga dari raja
Wurawari dan seluruh daerah yang pernah ditaklukan oleh Airlangga jatuh
ketangan raja Wurawari. Dengan hancurnya pemerinthan Dharmawangsa teguh raja
Wurawari cukup puas melampiaskan sakit hatinya karena tidak berhasil menjadi
menantu Dharmawangsa Teguh.
Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan
Dharmawangsa dicandikan di Wwatan, sekarang masih ada di desa Wotan di daerah
kecamatan Maospati. Dharmawangsa dalam masa pemerintahaannya menitik beratkan
pada pola politik luar negrinya. Ketika Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa
sekitar tahun 992 yang hasilnya Sriwijaya kalah, akibatnya Sriwijaya mengadakan
pembalasan atas serangan itu terhadap Dharmawangsa pada tahun 1006 M dibantu
oleh raja Wurawari, sehingga mengakibatkan kehancuran kerjaan Dharmawangsa atau
Pralaya.
2.2 Kehidupan
Masyarakat
Kehidupan
Sosial dan Ekonomi Masyarakat Mataram Kuno
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
membawaperubahan baru dalam kehidupansosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang
berevolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan dari
yang semula sistem barter hingga sistem nilai itu karuang.Sumber−sumber berita
Cina mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke−7 sampai
ke−10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung
ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari
Vietnam dan Cina. Kenyataa ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi
Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa.
Dari Prasasti Warudu Kidul diperolehin formasi adanya
sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang
berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya
lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu
adalah parasaudagar dariluar negeri.Namun, sumber−sumber local tidak memperinci
lebih lanjut tentang orang−orang asingini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum
migran dari Cina.Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota kerajaan terdapat
istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam
istana, berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luaristana
(masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman param pejabat tinggi
kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam
perkampungan khusus di manapara hamba dan budak yang dipekerjakan di istana
juga tinggl sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai
sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok
kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris
karena pusat Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai.
Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di sampingitu,
penduduk di desa (disebutwanua) memelihara ternak seperti kambing,
kerbau, sapi, ayam, babi, danitik.Sebagai tenagakerja,
merekajugaberdagang danmenjadi pengrajin.
Dari
Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan.
Kegiatan di pasar ini tidak diaadakan setiap hari melainkan bergilir,
berdasarkan pada hari pasaran menurutka lender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon,
pasardiadakan di pusatkota. Pada har I Mani satau legi, pasar
diadakan di desabagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa
sebelah selatan.Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Padahari
Wage, pasar diadakan di desasebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat
perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka
datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil
membawa barang dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk dibarterdengan
kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga juga sudah
berkembang. Beberapa hasil industry ini antara lain anyaman seperti keranjang,
perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula, kelapa, arang, dan
kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di pasar−pasar
tadi.Sementaraitu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer atau
kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak
memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian
dibukamenjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi
penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu
(kepaladesa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah
dihadiahkan kepada kaum brahmana atau rahibuntuk di jadikan asrama sebagai
tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi
atau wihara.
Aspek Kehidupan Ekonomi
Rakyat
Mataram menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan
banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor
hasil pertaniannya.Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian
telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan
pertama-tama hasil bumi, seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah
mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan
tembaga, pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan
kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam
serta telurnya juga di perjualbelikan.Usaha perdagangan juga mulai mendapat
perhatian ketika Raja Balitung berkuasa.Raja telah memerintahkan untuk membuat
pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai
Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas
perdagangan melalui aliran sungai tersebut.Sebagai imbalannya, penduduk desa di
kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya
pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan
menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
Struktur
Birokrasi
Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno
raja (Sri Maharaja) ialah penguasa tertinggi. Dari gelar abhiseka dan
puji-pujian kepada raja di dalam berbagai prasasti dan kitab-kitab susastra
Jawa Kuno sejak raja Airlangga. Dari jaman Mataram Kuno hanya ada dua orang
raja yang bergelar abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayottunggadewa
dan Rakai Layang dyah Tulodong Sri Saijanasanmatanuragatungadewa.Di naskah
Ramayana Kakawin yang di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas
kewajiban seorang raja), yaitu bagian yang merupakan ajaran Rama kepada adiknya
Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaranastrabrata, yaitu
perilaku yang delapan. Dikatakan bahwa di dalam diri seorang raja berpadu 8
dewa-dewa, yaitu Indra, Yama, Suryya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni.
Secara singkat bahwa seorang raja harus berpegang teguh
pada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan
memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa (wnang wigraha
anugerah), bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap
gejolak-gejolak dikalangan rakyatnya, berusaha agar rakyatnya senantiasa
memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan
kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.Sejak raja Airlangga sampai
munculnya Wangsa Rajasa raja-raja menggunakan gelar abhiseka yang berarti
penjelmaan Wisnu, hal itu berlandaskan konsepsi kosmologis. Konsepsi ini
dipergunaka oleh nenek moyang kita untuk membenarkan fakta sejarah tentang
tergulingkannya seorang maharaja oleh raja bawahannya.
Contoh tentang digulingkannya seorang maharaja oleh
seorang penguasa daerah atau oleh maharaja dari mandala yang lain, ialah perang
saudara, atau perang perebutan kekuasaan di antara para pangeran, yang
disebabkan karena raja di jaman dulu, disamping parameswari banyak
yang dapat memberikan anak laki-laki kepada raja. Perang saudara dan perebutan
kekuasaan di antara para pangeran itu terjadi pada masa sesudah Rakai Kayuwangi
pu Lokapala sampai ke masa pemerintahan Pu Sindok, dan pada masa sesudah raja
Airlangga.Sebenarnya telah ada ketentuan mengenai hal waris atas takhta kerajaan,
yaitu bahwa ya ng pertama-tama berhak untuk menggantikan duduk di atas takhta
kerajaan ialah anak-anak raja yang lahir dari parameswari.
Di dalam prasasti-prasasti dari jaman pemerintahan
Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura dijumpai seorang pejabat yang kedudukannya
setingkat dengan para putra raja itu, yaitu pamgat tiruan.Gelar pamgat menunjukkan
bahwa ia seorang pejabat keagamaan. Dari prasasti-prasasti dari masa rajakula
Rajasa pamgat tiruan ialah seorang upapatti atau
pejabat kehakiman.Ada satu pejabat yang hingga sekarang hanya dijumpai di dalam
prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, yaiturakryan kanuruhan. Gelar kanuruhan ditemukan
juga di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu candi perwara Candi Loro
Jonggrang di Prambanan pada deretan yang sebelah timur.Rakryan kanuruhan mulai
tampak sebagai pejabat dalam hirarki pemerintahan pusat sejak jaman empu
sindok. Pada masa pemerintahan raja Dharmmawangsa Airlangga ia merupakan
pejabat yang terpenting sesudah para putra raja keadaan ini terus berlangsung
sepanjang jaman Kadiri. Dalam jaman ini ia disebut sebagai yang terutama di
antara pada tanda rakryan ring pakirakiran.
Itulah gambaran yang diperoleh dari sumber prasasti
tentang birokrasi ditingkat pusat kerajaan. Raja didampingi oleh para pangeran,
di antaranya putra mahkota, dan seorang pejabat kehakiman. Mereka itu ialah
rakarayan mapati I hino, I halu, I sirikan, I wka, dan pamgat tiruan. Berita
cina yang menyangkut masalah birokrasi di kerajaan Mataram tidak juga banyak
menolong dalam mengungkapkan selengkapnya masalah ini. Berita dari jaman
rajakula T’ang (Hsin-T’ang-shu) mengatakan bahwa ada 32 pejabat tinggi, dan
yang pertama di antara mereka ialah ta-tso-kan-hiung. Berita dari jaman
rajakula Sung mengatakan : tiga orang putra raja bertindak sebagai raja muda,
dan ada pejabat yang bergelar samgat dan empat rakryan, yang bersama-sama
menyelenggarakan Negara sebagaimana para menteri di Cina, mereka itu tidak
memperoleh gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu memperoleh hasil bumi
dan barang-barang lain semacamnya.
Berita yang pertama pernah ditafsirkan sebagai berita
yang khusus berkenaan dengan masa pemerintahan Rakai Watukara Dyah Balitung,
sebab ta-tso-kan-hiung ditafsirkan sebagai Daksa, saudara raja yang gagah
berani.Berita yang kedua lebih terperinci, dan dalam beberapa hal memang sesuai
dengan data epigrafis. Di atas sudah dilihat adanya tiga, bahkan sebenarnya
empat orang putra raja yang duduk dalam hirarki pemerintahan. Tetapi bahwa
selanjutnya ada samgat dan empat rakryan tidaklah sesuai, karena kenyataannya
ada empat samgat dan lima orang rakryan.
Dengan perkataan lain kebanyakan di antara para
manilala drawiya haji itu ialah abdi dalem keraton, yang menikmati kekayaan
raja dalam arti menerima gaji tetap dari perbendaharaan kerajaan. Para pejabat
tinggi kerajaan dan para pangeran yang menduduki jabatan di dalam hirarki
pemerintahan tingkat pusat, baik yang bergelar rakai maupun pamgat, lebih
banyak tingkat di lingkungan ibukota kerajaan. Sayang sekali prasasti-prasasti tidak
memberikan data yang lengkap tentang struktur birokrasi ditingkat watak itu.
Lebih terperinci ialah keterangan mengenai pejabat-pejabat di bawah para
penguasa daerah. Seorang Rakai Patapan misalnya, disebut mempunyai bawahan
tuhan ning nayaka, parujar atau parwuwus, matanda, tuhan ning kalula, tuhan
ning lampuran, tuhan ning mangrakat atau manapal, dan tuhan ning wadia rarai.
Administrasi
Pengadilan
Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintahan daerah
yang lain ialah denda-denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana. Di
dalam prasasti-prasasti disebut sukha dukha, yang di dalam naskah-naskah hukum
disebut hala hayu, denda-denda itu di dalam prasasti juga disebut drawya haji.
Hal ini tidak perlu mengherankan karena dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah
hukum menjadi pegangan para hakim itu tentu tidak ditulis di atas logam, karena
akan menjadi berat dan mahal.Beberapa naskah hukum jawa kuno yang sampai kepada
kita diketahui merupakan olahan dari naskah-naskah hukum di India. Antara lain
kitab Purwadhigama, Kuramanawa atau Siwasasana dan Swarajambhu. Menurut
penelitian van Naerssen memang ada petunjuk bahwa naskah-naskah hukum jawa kuno
itu diulis kembali pada waktu kemudian.
Karena dari jaman Mataram tidak ada naskah hukum yang
sampai kepada kita, maka gambaran tentang administrasi kehakiman hanya dapat
disuguhkan di sini berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan
peradilan (Jaya Patra), dan keterangan tentang sukha dukha yang terdapat dalam
prasasti-prasasti yang lain.Perkara yang dipermasalahkan di dalam prasasti
Guntur dan Wurudu Kidul dapat diselesaikan ditingkat watak oleh seorang pamgat.
Sudah kita lihat bahwa yang diperkarakan di dalam prasasti Guntur ialah masalah
hutang piutang. Di dalam surat keputusan itu disebutkan sebagai sebab yang
pertama mengapa Sang Dharmma dikalahkan perkaranya ialah karena ia tidak hadir
di persidangan. Alasan yang serupa juga digunakan terhadap Sang Pamariwa yang
digugat oleh Sang Danadi.
Sebagai alasan yang kedua mengapa Sang Dharmma
dikalahkan perkaranya ialah karena menurut kitab hukum hutang istri yang dibuat
tanpa pengetahuan suaminya, apalagi kalau mereka itu tidak mempunyai anak,
tidak menjadi tanggung jawab si suami. Pasal yang mengatakan demikian tidak
terdapat di dalam naskah hukum yang diterbitkan oleh Jonker, juga tidak ada di
dalam bab VIII dari Manawadharmmasastra. Hal yang diajukan di dalam prasasti
Wurudu Kidul tidak terdapat di dalam naskah hukum yang kita kenal. Mungkin
tidak ada naskah hukum yang mengatur masalah status kewarganegaraan seseorang.
Maka dalam hal ini keputusan diambil berdasarkan kesaksian kaum keluarga Sang
Dhanadi dan penduduk asli yang netral dari beberapa desa di luar desa tempat
tinggal Sang Dhanadi.
Di dalam naskah-naskah hukum memang ada juga
dicantumkan syarat-syarat seorang saksi, antara lain harus orang yang telah
berkeluarga, yang banyak anaknya, penduduk asli, dan orang-orang yang tidak
berkepentingan di dalam perkaranya, baik dari kasta ksatrya, waisya, maupun
sudra. Seorang brahmana tidak dapat dijadikan saksi, demikian pula raja
sendiri, para tukang dan pandai, dan para pendeta yang telah meninggalkan
keduniaan.Bahwa pihak yang tidak hadir dalam persidangan harus dinyatakan kalah
perkaranya memang ditentukan di dalam naskah hukum. Dalam kasus Sang Dharmma
melawan Pu Tabwel sebenarnya ada ketentuan bahwa Sang Dharmma dapat dikenai
denda, karena menagih hutang tetapi tidak mau datang di pengadilan untuk menjelaskan
duduk perkaranya hutang piutang itu. Tetapi ternyata di dalam prasasti Guntur
itu tidak ada disebutkan hukuman bagi Sang Dharmma.
Keadaan
Masyarakat
Di samping stratifikasi sosial berdasarkan pembagian
kasta seperti yang ternyata dari berbagai prasasti, ada lagi stratifikasi
sosial berdasarkan kedudukan seseorang di dalam masyarakat, baik kedudukan di
dalam struktur birokrasi maupun kedudukan sosial berdasarkan kekayaan materil.
Dalam kenyataan stratifikasi sosial masyarakat jawa kuno bersifat kompleks dan
tumpang tindih. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa dari seorang kasta
brahmana, kasta yang tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur
birokrasi tingkat pusat atau tingkat watak, dapat juga ditingkat desa (Wanua),
tetapi dapat juga tidak mempunyai sesuatu jabatan. Ada juga orang dari kasta
ksatrya yang dapat menduduki jabatan keagamaan ditingkat pusat, seperti Sang
pamgat tiruan misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan tinggal di suatu
biara. Di ibukota kerajaan, yang menurut berita-berita Cina dikelilingi oleh
dinding, baik dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana
raja yang juga dikelilingi oleh dinding. Di luar istana, masih di dalam
lingkungan dinding kota, terdapat kediaman putra mahkota (Rake hino), dan tiga
orang adiknya, dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan. Rumah-rumah mereka
itu terletak di dalam kampung khusus di dalam lingkungan tembok kota, di mana
tinggal para hamba mereka masing-masing.
Di dalam lingkungan tembok kota itu juga tinggal para
pejabat sipil yang lebih rendah, yaitu para manilala drawyah haji yang
jumlahnya mungkin sampai kira-kira tiga ratus orang, bersama-sama dengan
keluarga mereka. Jadi di dalam lingkungan tembok ibukota kerajaan tinggal
kelompok elit dan non elit, dengan raja dan keluarganya mengambil tempat
tersendiri. Menurut berita-berita Cina raja tiap hari mengadakan pertemuan
dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi kerajaan dan pendeta
penasehat raja. Biasanya raja mengambil keputusan setelah mendengarkan pendapat
dari para pejabat yang hadir sebagai contoh dapat dikemukakan di sini prasasti
Sarwadharma tahun 1191 saka (31 oktober 1269 M). Di dalam prasasti ini
diperingati permohonan rakyat dari desa-desa yang menjadi punpunan Sang Hyang
Sarwwadharma di wilayah Janggala dan Pangjalu agar mereka itu dibebaskan dari
ikatan thanibala, sehingga tidak perlu lagi membayar bermacam-macam pungutan.
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari
kebutuhan akan hiburan. Prasasti-prasasti dan relief candi-candi, teritama
Candi Borobudur dan Prambanan, banyak member data tentang bermacam-macam seni
pertunjukan. Tentang pertunjukan wayang di dalam prasasti Wukajana dari masa
pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung.Pada pertunjukan wayang kulit dan
petilan wayang orang serta pembacaan ceritera Ramayana ada lagi pertunjukan
lawak mamirus dan mabanol. Pertunjukan lawak hampir dijumpai di semua prasasti
yang menyebut upacara penetapan sima secara terperinci.Tarian-tarian juga
sering dipertunjukan pada upacara penetapan sima. Ada tari-tarian yang dapat
ditarikan bersama oleh laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan
pemuda-pemudi, dan ada juga tarian khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan
rawanahasta. Ada juga tari topeng (matapukan). Tarian itu biasanya diiringi dengan
gamelan. Ternyata prasati dan relief candi menampilkan jenis alat gamelan yang
terbatas, anatra lain semacam gendang (padahi) kecer atau simbal (regang),
semacam gambang, saron, kenong, beberapa macam bentuk kecapi(wina), seruling
dan gong.
Adanya berbagai macam tarian yang diiringi oleh
gamelan yang terbatas itu dijumpai di relief Candi Prambanan dan Borobudur.
Diantaranya kita dapat melihat tarian perang, seorang wanita menari sendiri,
adegan yang menggambarkan semacam reog di Jawa Barat, dan lain-lain. Adegan
wanita yang menari sendiri diikuti oleh beberapa orang laki-laki yangbertepuk
tangan mengingatkan kita pada keterangan di dalam prasasti Poh yang menyebut
rara mabhramana tinonton mwang were werehnya (gadis yang berkeliling untuk ditonton
dengan orang laki-laki), mungkin semacam teledek yang ngamen berkeliling dari
desa ke desa yang lain.Berbagai macam tontonan itu tentu saja ridak hanya
dipertunjukkan pada waktu ada upacara penetapan sima. Ada dalang, penabuh
gamelan, penari dan pelawak professional, yang memperoleh sumber penghasilan
dari profesinya tersebut. Seperti telah dikatakan di atas bahwa para seniman
itu masuk ke dalam kelompok wargga kilalan.
2.3 Penyebab
Keruntuhan Kerajaaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama, disebabkan oleh letusan gunung
Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian lahar tersebut
menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan,
sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak.Kedua, runtuhnya kerajaan
Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M.
Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan
pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang
terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis.Sementara
di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang
strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil
komoditi perdagangan. Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake
I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur
dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai
pusat kerajaan. Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa
berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan
sebelumnya yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun
929 M sampai dengan 948 M.Sumber sejarah yang berkenaan
dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara lain prasasti Pucangan,
prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti
Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan
prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota oleh
Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara umum kerajaan Mataram Kuno pernah di
pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa
Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana.Istilah Isyana berasal dari nama
Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi
raja Medang (929–947). Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Dalam masa 70 tahun itu tercatat
hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentuka, yaitu prasasti
Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992
M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M).Usaha untuk
meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi,
seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil
industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga,
pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur
sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta
telurnya juga di perjualbelikan.
1 komentar:
Play Blackjack Online - Dr.MD
A Blackjack variant 논산 출장마사지 of blackjack by Blackjack. 창원 출장샵 Blackjack games are 파주 출장샵 similar to other types of casino games, such as video poker, video Jan 6, 2021 영주 출장마사지 · Uploaded by 충청남도 출장샵 Blackjack Games - Dr.MD
Posting Komentar